Beberapa waktu yang lalu mengisi weekend dengan nonton bersama suami . Bukan film yang baru banget, karena udah tayang sejak beberapa minggu yang lalu. Tapi tentunya baru bagi karena baru kali ini menontonnya. Sepulang dari kantor langsung naik busway ke bioskop dan janjian ketemu sama pacar (baca : suami) di sana. Sengaja memilih hari Jumat malam, karena Sabtunya Libur. Terus harganya tiketnya lumayan. Senin-Kamis Rp 25.000, Jumat Rp 30.000, Sabtu-Ahad 40.000.
Bioskop tidak terlalu penuh. Mungkin karena kami sudah tergolong belakangan. Bagi yang sudah menonton duluan pasti sudah tahu bahwa film ini merupakan film yang diangkat dari novel terkenal Buya Hamka.
Film ini menonjolkan kisah cinta antara Hamid danZainab. Hamid terlahir dari keluarga yang kurang mampu yang dibesarkan oleh seorang ibu. Sedangkan Zainab terlahir dari keluarga kaya, anak Haji Ja’far. Ya seperti biasa, kisah cinta si mampu dan si kurang mampu yang tidak disetujui oleh keluarga.
Film ini berlatar belakang kota Padang, Sumatera Barat tahun 1920 kental dengan suasana perkampungan Minang.
Ketika menonton film ini aku lebih tertarik dengan perjuangan ibunya Hamid dalam membesarkan anaknya. Seorang single parent, karena suaminya telah meninggal. Beliau bekerja di keluarga Haji Ja’far (orang tua dari Zainab) hingga akhir hayatnya. Kegigihan beliau dalam membesarkan Hamid menjadikan Hamid menjadi pemuda yang cerdas, saleh, dan berbudi pekerti tinggi. Selain itu karena perjuangan beliau Hamid dapat menyelesaikan Perguruan Thawalib, sebuah institusi pendidikan agama Islam yang terkenal di era awal abad 20-an. Walaupun telah mengantarkan anaknya menjadi seperti itu, Ibu Hamid berucap : Semoga ayahmu tidak kecewa dengan Ibu, nak...
Pesan Ibu Hamid kepada anaknya disaat beliau mau meninggal : Hamid, kalau kamu tidak memiliki siapa-siapa lagi didunia ini. Memiliki Allah itu sudah lebih dari segalanya.
Dari Ibu yang hebat akan terlahir generasi-generasi yang hebat. Subhanallah.
0 comments:
Post a Comment